Deadlock Pembahasan APBD 2026, Akademisi: Bupati Kukar Berhak Tetapkan APBD Lewat Perkada
Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Kutai Kartanegara (Fisipol Unikarta), Martain, S.Sos., M.A.
TENGGARONG â Pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) Tahun Anggaran 2026 hingga kini belum menemukan titik temu. Hingga memasuki 1 November 2025, belum ada kesepakatan antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). Kondisi deadlock ini menimbulkan kekhawatiran terhadap kelancaran pelayanan publik dan stabilitas fiskal daerah.
Akademisi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Kutai Kartanegara (Fisipol Unikarta), Martain, S.Sos., M.A., menilai situasi tersebut sudah memasuki fase krusial. Ia menegaskan bahwa jika hingga 30 November 2025 belum ada kesepakatan, Bupati Kutai Kartanegara berwenang menetapkan APBD 2026 melalui Peraturan Kepala Daerah (Perkada).
âLangkah itu bukan pelanggaran, justru mekanisme hukum yang disediakan oleh negara untuk menyelamatkan jalannya pemerintahan daerah,â ujar Martain kepada wartawan, Jumat (1/11).
Menurutnya, dasar hukum kewenangan tersebut tertuang jelas dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, khususnya Pasal 104, 106, dan 107. Pasal 106 ayat (1) mengamanatkan agar Kepala Daerah dan DPRD menyetujui rancangan Perda APBD paling lambat satu bulan sebelum tahun anggaran dimulai. Sementara Pasal 107 memberi kewenangan kepada Kepala Daerah untuk menetapkan APBD melalui Perkada apabila dalam 60 hari setelah pengajuan, tidak tercapai persetujuan bersama.
âJadi kalau DPRD dan TAPD tetap tidak mencapai kesepakatan, Bupati punya dasar hukum yang kuat untuk menetapkan Perkada APBD 2026. Itu langkah konstitusional untuk memastikan pelayanan publik, gaji ASN, dan program wajib tetap berjalan,â tegas Martain.
Lebih lanjut ia menjelaskan, tidak semua jenis belanja harus dianggarkan dalam Perkada APBD. Berdasarkan penjelasan Pasal 107 ayat (2) PP 12/2019, belanja yang bersifat mengikat dan wajib hanya mencakup hal-hal yang menyangkut pelayanan dasar masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, belanja pegawai, serta kewajiban pembayaran pinjaman dan bunga.
âBelanja seperti tunjangan perumahan DPRD, tunjangan komunikasi intensif, tunjangan transportasi DPRD, maupun Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) ASN tidak termasuk kategori belanja wajib atau mengikat,â terang Martain.
âArtinya, Bupati memiliki diskresi penuh untuk menganggarkan atau tidak, tergantung kemampuan fiskal daerah.â
Martain juga mengingatkan DPRD agar tidak menjadikan APBD sebagai alat politik. Menurutnya, keterlambatan pembahasan anggaran justru berisiko menurunkan kepercayaan publik terhadap lembaga perwakilan rakyat dan dapat menghambat pembangunan daerah.
âAPBD adalah instrumen pembangunan, bukan arena tarik-menarik kepentingan. Kalau pembahasan terus ditunda, yang dirugikan justru masyarakat,â katanya.
Ia menambahkan, penerbitan Perkada APBD bukan bentuk konfrontasi eksekutif terhadap legislatif, tetapi implementasi prinsip akuntabilitas dan keberlanjutan pemerintahan daerah. DPRD tetap memiliki fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan APBD, namun penetapan melalui Perkada merupakan solusi hukum untuk mencegah stagnasi pemerintahan.
âLangkah ini seharusnya dilihat sebagai tanggung jawab konstitusional Kepala Daerah untuk menjamin roda pemerintahan tetap berjalan,â pungkas Martain.
Penulis: Yk/Garispena.co