Berita Update

(Terbaru)
Anggota DPRD Kaltim dari daerah pemilihan Kukar, Muhammad Husni Fahruddin.

Samarinda - Kebijakan retribusi layanan persampahan yang diterapkan Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) mendapat perhatian serius dari DPRD Kalimantan Timur.

Anggota DPRD Kaltim dari daerah pemilihan Kukar, Muhammad Husni Fahruddin, menilai sejumlah ketentuan tarif berpotensi menambah tekanan bagi masyarakat kecil yang masih berjuang memulihkan kondisi ekonomi.

Husni yang akrab disapa Ayub menyampaikan bahwa beberapa ketentuan tarif dalam lampiran peraturan daerah tampak cukup berat bagi pelaku usaha mikro dan rumah tangga kecil.?

Ia mengemukakan sejumlah kategori usaha yang dikenai pungutan harian maupun bulanan.

“Untuk rumah makan kelas kecil dikenakan tarif sepuluh ribu rupiah per bulan, begitu pula usaha jasa berskala kecil. Pedagang pasar dan kios dibebankan lima belas ribu rupiah, bengkel motor kecil dua puluh lima ribu rupiah, sedangkan pedagang kaki lima dipungut seribu hingga seribu lima ratus rupiah per hari,” ujarnya, Rabu (26/11/2025).

Ia juga menyinggung bahwa kelompok nonkomersial, termasuk rumah tangga, tidak luput dari tarif retribusi.?

Menurutnya, golongan ini adalah yang paling rentan merasakan dampak dari kebijakan tersebut.

“Rumah tangga besar dikenai sepuluh ribu rupiah per bulan, rumah tangga sedang tujuh ribu lima ratus rupiah, sementara rumah tangga kecil dibebankan lima ribu rupiah. Untuk kantor swasta kecil tarifnya lima puluh ribu rupiah per bulan, dan pembuangan sampah ke TPA dengan kendaraan sendiri dikenakan empat ribu lima ratus rupiah per meter kubik,” jelasnya.

Ayub mempertanyakan ketepatan kebijakan tersebut apabila diterapkan tanpa melihat kondisi ekonomi warga.

Ia menilai pemerintah daerah perlu memberikan pertimbangan khusus agar tarif tidak menjadi beban tambahan bagi masyarakat yang penghasilannya terbatas.

“Apakah pantas rumah tangga kecil yang hidup serba pas-pasan dibebani retribusi sampah? Kondisi ekonomi warga belum pulih sepenuhnya, sehingga kebijakan seperti ini harus dipertimbangkan secara matang,” ungkapnya.

Meski memberikan kritik, Ayub mengakui bahwa retribusi persampahan memiliki dasar yang dapat dibenarkan, terutama bila merujuk pada prinsip polluter pays pihak yang menghasilkan sampah turut bertanggung jawab atas biaya pengelolaannya.

Ia menilai retribusi dapat menjadi instrumen pendanaan yang stabil sekaligus meningkatkan kesadaran publik.

“Retribusi dapat menjadi instrumen pendanaan yang efektif apabila ditujukan untuk menjaga stabilitas layanan kebersihan, mendorong kesadaran masyarakat, dan menciptakan keadilan antarwilayah,” tuturnya.

Namun, ia mengingatkan bahwa penerapan prinsip tersebut tidak dapat dilakukan secara seragam tanpa mempertimbangkan kemampuan ekonomi warga di masing-masing kategori.

Tarif yang bersifat rata atau flat justru dapat menimbulkan ketidakadilan.

“Sistem tarif tidak dapat diberlakukan sama bagi semua kelompok tanpa memperhatikan kemampuan pendapatan atau kualitas layanan yang diterima. Hal seperti ini tidak layak diterapkan,” tegasnya.

Untuk itu, ia menyarankan pemerintah daerah mempertimbangkan pendekatan yang lebih berkeadilan, seperti pemberlakuan tarif progresif hingga pembebasan bagi warga tertentu.

“Pemerintah dapat menerapkan skema tarif progresif, memberikan pembebasan biaya bagi warga yang masuk dalam DTKS, mengintegrasikan layanan agar lebih efisien, serta memastikan peningkatan kualitas layanan pengangkutan sebelum pungutan diberlakukan sepenuhnya,” terangnya.

Menutup pernyataannya, Ayub menekankan bahwa kebijakan retribusi hanya dapat diterapkan apabila desainnya disusun secara adil dan berpihak pada masyarakat kecil.

“Pungutan dapat dijalankan selama kebijakannya dirancang dengan tepat. Namun dalam kondisi ekonomi yang sulit seperti sekarang, rumah tangga kecil seharusnya tidak dibebani agar tekanan hidup mereka tidak semakin berat,” pungkasnya.?(Adv/DPRD Kaltim)

Penulis: Diba/Garispena.co